Senin, 23 Agustus 2010

Urgensi Berdakwah dan Membina

Keberadaan atau eksistensi manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang jelas dan pasti. Misi yang merupakan tujuan asasi. Ada tiga misi yang diberikan Allah untuk diemban manusia; yaitu misi utama untuk beribadah (QS. 51:56), misi fungsional sebagai khalifah (QS. 2:30) dan misi operasional untuk memakmurkan bumi (QS. 11:61)[1]. Namun, tidak semua orang dapat  mempertahankan kelangsungan ketiga misi tersebut dikarenakan tidak mengikuti risalah yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Jika demikian apakah kita akan bersikap apatis, ketika saudara kita amatlah memerlukan uluran tangan kita?
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah" [Ali 'Imrân : 110]
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." [Ali Imran : 104]
Dakwah secara bahasa artinya menyeru kepada kabaikan. Dakwah, adalah satu ibadah yang sangat agung, ladang untuk menuai pahala, dan tugas sangat mulia yang Allah embankan di pundak para rasul dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat, para pengembannya merupakan manusia-manusia terbaik perkataanya[2]. Dan Tujuan utama dakwah, ialah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Kebutuhan akan dakwah pada zaman sekarang amat diperlukan. Dengan berdakwah kita dapat memenuhi kebutuhan orang-orang disekeliling kita terkait pemahaman Islam secara kaffah sehingga mereka dapat membedakan mana yang haq dan yang batil.
Dakwah adalah kewajiban setiap muslim. Karena tanpa berdakwah, bisa jadi yang mengetahui “Islam Rahmatan Lil ‘alamin” hanyalah Rasulullah. Namun, tentu saja dakwah harus dengan ilmu, karena dakwah tanpa ilmu memberikan kesesatan yang nyata. Salah satu cara memperoleh ilmu adalah melalui proses pembinaan. Mengapa dikatakan demikian?
Pembinaan merupakan suatu fase yang penting dalam sebuah proses belajar. Dalam pembinaan, idealnya seseorang bisa menempatkan diri sebagai pembina ataupun yang dibina. Proses transfer ilmu yang berkelanjutan merupakan salah satu cara yang efektif dalam penyebaran ilmu. Ketika ia menempati posisi sebagai ‘binaan’, ia mendapatkan ilmu. Kemudian ketika ia menempati posisi sebagai ‘pembina’, ilmu yang telah ia dapatkan tadi disampaikan kembali kepada binaannya, dan begitu seterusnya. Sebagai bagian dari ‘peningkatan kualitas pribadi’[3].
Oleh karena itu seseorang akan dirasa kurang jika hanya menempati salah satu posisis saja. Sebagai contoh, jika hanya sebagai binaan maka akan cenderung lambat dalam mengamalkan ilmunya bahkan dapat melupakan ilmunya karena ilmu yang dimiliki hanya tersimpan dan tidak disampaikan, begitu pula sebagai pembina, cenderung merasa dirinya benar, sehingga orang lain akan segan menegur jika dirinya salah. Sehingga kita harus menempati kedua posisi tersebut, yaitu sebagai binaan dan pembina.
Dengan membina, seseorang akan belajar cara-cara menyampaikan dan mentransfer ilmu kepada orang lain. Semakin beragam karakter orang yang dihadapinya (mentee), maka dia akan semakin kreatif mencari trik-trik agar ilmu yang akan ditransfer dapat merasuk dan bisa diamalkan. Dengan demikian, secara otomatis kualitas dirgfinya akan semakin meningkat. Baik dari sisi pengalaman, maupun pengamalannya[3].
Sehingga dapat disimpulkan bahwa urgensi pembinaan merupakan bagian dari “mengamalkan ilmu” (QS: Ash-shof ayat 2-3), s



ebagai bagian dari ‘mendakwahkan dienul Islam’, Sebagai penyemangat dalam ‘tholabul ‘ilmi’, dan Sebagai bagian dari ‘muhasabah / instropeksi diri’seseorang(binaan-nya merupakan cerminan dari pembina).
Dalam konteks ‘mentoring’, pembina atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘mentor’ ini tidak hanya berfungsi sebagai ‘penyampai ilmu’ semata. Akan tetapi ia juga berperan sebagai ‘wali’ atau orang tua, ‘syaikh’ atau penasehat spiritual, dan ‘Qo-id’ atau panglima (pemimpin).  Dengan 4 fungsi diatas, seorang Pembina dituntut untuk benar-benar bisa menjalankan peran dengan sebaik-baiknya[3].
Wahai saudaraku, apa yang kini engkau ragukan untuk berkontribusi di jalan Allah? Menyumbangkan peluh,keringat dan air matamu di jalan Allah, yang insyaAllah mereka akan bersaksi atas kecintaanmu kepadaNYA. Bukankah ketika kita  mengajak orang lain berbuat kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang sama dengan orang yg diajaknya, dan begitu pula sebaliknya. ?
Oleh karena itu, dalam melakukan pembinaan, berusahalah semaksimal mungkin dan berperanlah sebaik mungkin. Karena boleh jadi suatu amal yang dianngap sepele, justru Allah Ridha atasnya
Imam Syafi’i dalam antologi puisinya berkata:
“Siapa yang tidak mau ta’lim (dakwah/membina) pada masa mudanya,
maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena ia telah mati (sebelum
ia mati).”
Wahai saudaraku…..
Bagilah penat dan lelahmu kapadaku, agar aku bisa mersakan nikmatnya dakwah yang engkau lakukan
Wahai saudaraku…..
Bagilah air mata yang menetes dari tiap sudut matamu, ketika air mata itu jatuh karena Allah, agar aku pun dapat merasakan Allah tersenyum padaku ketika aku menangis karena dakwah ini
 Wahai saudaraku…..
Bagilah cahaya kebaikan yang kau tebarkan kepada hamba-hamba Allah yang menanti cahaya yang membimbingnya tuk bertemu kepada Sang Rabbul Izzati
Wahai saudaraku, aku bukanlah Panglima Perang  yang mengangangkat senjata ke medan perang, tapi aku adalah seseorang yang mujahidah yang hanya ingin Kalimat suci 'LAILAHAILLAH MUHAMMADURRASULULLAH...' tegak di bumi Allah ini. ALLAHU AKBAR…….wallahu ‘alam bisshawab

 <>



 sumber: 
[1] Tarbiyah Menjawab Tantangan, Rabbani Press, 2002
[2] Syaikh Dr. Shalih bin Fauzân al-Fauzân. Almanhaj.or.id.2009

1 komentar:

  1. bagus min artikelnya.. tapi tulisannya agak susah gitu dibaca (gelap)!!

    BalasHapus